“Senja Yang Tersisa” Memoar Orang Biasa yang Luar Biasa

by
Acara Diskus buku berjudul "Senja yang Tersisa: Memoar dari Bangka ke Tasikmalaya", di Perpustakaan Baca DiTebet, Jalan Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu sore (11/5/2024) kemarin. (Foto: Istimewa/

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Menulis di usia muda biasa, menulis karena terbiasa juga bukan hal baru. Tatapi, menulis di usia senja, tepatnya 77 tahun dapat dikatakan luar biasa. Apalagi di usia hampir kepala delapan itu, pasti sudah banyak gangguan fisik yang kadang menjadi kendala.

Tapi, bagi Suplan Azhari, semua itu tak berlaku, dia telah merampungkan sebuah buku kisah perjalannya di usia 77 tahun. Buku itu diberi judul “Senja yang Tersisa: Memoar dari Bangka ke Tasikmalaya.”

Buat sebagian besar orang, menulis buku bukan pekerjaan yang ringan, butuh konsentrasi dan keseriusan untuk menuntaskan. Belum lagi sejumlah ‘aturan’ dan tahapan yang mesti dilalui hingga akhirnya sebuah buku diterbitkan. Semangat pantang menyerah dan tujuan ideal sang penulis, biasanya yang membuat proses kreatif lahirnya buku menjadi lancar.

Suplan punya itu semua, di samping ingatan yang masih kuat dan dukungan dokumentasi foto yang membimbingnya bercerita kisah hidupnya yang unik. Proses kreatif Suplan menulis kisah hidupnya yang berjudul judul “Senja yang Tersisa: Memoar dari Bangka ke Tasikmalaya”, itulah yang dibahas dalam suatu diskusi di Baca DiTebet, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu sore (11/5/2024) kemarin.

Suplan dan penyuntingnya, Vudu Abdul Rahman hadir. Kanti W Janis yang menulis epilog di buku ini, juga tampil sebagai pengulas. Bedah buku yang dipandu Wien Muldian menarik perhatian hadirin untuk ikut aktif menanyakan banyak hal.

Suplan yang nampak gagah di usia 77 tahun, kelihatan sumringah karena dalam bedah buku ini hadir bebrapa koleganya, anak dan cucunya, serta beberapa penulis senior dari ALINEA.

Layaknya seorang peneliti dan juga mirip cara kerja sejarawan, Suplan Azhari yang lahir di Desa Kemuja, Kecamatan Mendobarat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, Februari 1947 dan menamatkan pendidikan menengah di SMEA, melanjutkan kuliah di Akademi Pimpinan Perusahaan di Yogyakarta, dan setelah itu bekerja di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), berpindah kota dan akhirnya di PDAM Jakarta hingga pensiun, saat perusahaan daerah itu bekerjasama dengan perusahaan swasta asing, Thames Water International dar Inggris.

Membaca buku Suplan Azhari setebal 264 halaman yang diterbitkan Lambang Sora, Februari 2024, terasa dibawa ke suasana kehidupan masa tahun 60-an hingga masa kini, dengan latar berbeda-beda hingga terakhir di Tasikmalaya, kota yang diidamkan sejak muda dan mungkin sampai akhir hayat, sambil membina kaum muda dan anak-anak dalam bidang literasi.

Bagian Ingatan Bangsa 

Sementara itu Kanti W Janis, pendiri Baca DiTebet, yang memberikan epilog di dalam buku Suplan, mengungkapkan bahwa buku memoar Suplan ini juga memberikan gambaran serpihan sejarah bangsa Indonesia, sebab di sana-sini, cerita Suplan menyangkut perkembangan daerah di mana Suplan singgah dan bekerja.

Membaca memoar Suplan, Kanti bukan saja mengagumi, tapi juga mengajak semua pembaca buku ini dan juga kepada masyarakat untuk mulai mengumpulkan bahan dan dokumen keluarga dan menuliskannya dengan cara masing-masing.

Dalam Epilog itu Kanti juga menyinggung kegiatan luarbiasa Suplan dalambidang literasi di bawah naungan komunitas Mata Rumpaka dan juga kegiatannya di bidang budaya, khususnya pernah bermain di sebuah film. (Ery)