Dua Buku Kumpulan Puisi di Bedah di Badan Bahasa

by
Badan Bahasa menggelar acara bedah dua buku kumpulan puisi. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek (Badan Bahasa) menggelar acara bedah dua buku kumpulan puisi. Pertama karya penulis dan eks wartawan Tempo, Idrus F.Shahab berjudul ‘Sajak-sajak Malam Gerimis Setangkai Mawar Chairil” dan karya seorang Guru SD di Batu Aji, Batam, Sutarya Aryaningsih atau Ning berjudul “Perihal Kita” di Aula Sasadu, Gedung M.Tabrani, Rawamangun, Selasa (30/4/2024) kemarin.

Selain penyair Idrus F. Shahab dari Jakarta dan Ning dari Batam, tampil selaku pembahas, cendekiawan dari Fakultan Ilmu Bahasa Universitas Indonesia (FIB-UI), yang juga penyair, Prof. Jeffry Alkatiri, penulis dan Penata Tingkat 1/III D dari Badan Bahasa, Eko Mraini, M.Hum dan Guru Penggerak dari SMAN 56 Jakarta, Indri Anatya Permatasari.

Bedah buku ini dipandu penulis dan dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI), Suradi, MS.i dan dibuka secara resmi oleh Sekretaris Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Hafidz Muksin.

Hafidz Muksin saat membuka acara bedah buku ini mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi pada penulis, pembahasa, moderator, dan tentunya hadirin.

Dikatakannya, kegiatan bedah buku merupakan kegiatan rutin, aktivitas bedah buku merupakan aktivitas rutin dan alhamdulillah Perpus Badan Bahasa, meraih predikat B dan selangkah lagi akan meraih predikat tertinggi. Sehingga aktivitas bedah buku diharapkan dapat meningkatkan peran dan fungsi Perpustakaan Badan Bahasa untuk mempublikasi karya-karya terbaik yang layak untuk dibaca publik.

“Ini sejalan dengan komitmen Kemendikbudristek khusunya Badan Bahasa dalam rangka menduniakan sastra agar tampil di pentas dunia. Untuk ini juga selaras dengan aprssiasi UNESCO,” ujarnya.

Apalagi, lanjut Hafidz, pada November 2024 mendatang, UNESCO akan memperingati 100 tahun sastrawan Indonesia terkemuka, AA. Navis. Ini merupakan rentetan aktivitas kebanggaan bangsa Indonesia mengingat Bahasa Indonesia telah ditetapkan UNESCO sebagai Bahasa resmi di UNESCO.

Permainan gitar klasik oleh Idrus F. Shihab, mengawali acara bedah buku puisi. Kentara sekali nuansa seni dan perbincangan buku pun mengalir dengan apik. Begitu juga ketika penyair dari Batam, Ning tampil, diawali dengan pembacaan dua puisi karyanya sambil diiringi petikan gitar oleh Idrus F.Shahab.

Di penghujung acara, penyair Sihar Ramses Simatupang yang hadir di acara ini, turut membacakan satu puisi karya Idrus F. Shahab, berjudul “Nona Alaska”.

Idrus F. Shahab menuturkan proses kreatifnya. Setelah lulus dari perguruan tinggi (Jurusan Filsafat University of Oregon, Eugene, Oregon, Amaerika Serikat-red), langsung menceburkan diri dalam jurnalisme. Sebuah dunia yang egois, dunia yang membuat saya mustahil bergerak. Reportase, mengecek-melobi dan mewawancara sumber, menuliskan laporan, menulis artikel jurnalistik yang berimbang, dan semua itu berlangsung di bawah deadline yang ketat.

“Ah … deadline adalah diktator yang paling dingin yang pernah kujumpai,” katanya.

Lama sekali puisi tenggelam dari kehidupan sehari-hari Idrus –dan kalau pun sekali dua dia menulis puisi, coretan itu hanya tersimpan di dalam laci untuk dilupakan.

Rupanya jurnalisme juga yang akhirnya mendekatkan dirinya pada puisi. Saat itu tahun 2007 ketika meliput simposium internasional tentang Rumi di Istanbul dan Konya, Turki. Konya adalah kota di Turki selatan yang sibuk menjadi persinggahan internasional, karena di situlah sufi agung Jalaludin Rumi (1207-1273) hidup dan dimakamkan.

Begitu juga penyair dari Batam dengan nama Ning, mengungkapkan proses kreatifnya. Menurut dia, puisi adalah bahasa kalbu, curahan sanubari dari relung jiwa yang terdalam. Ia menjadi teman di kala sepi, menjadi kekasih di kala rindu, menjadi setetes embun di kala dahaga.

Sajak-sajak ini datang dari hati, dan sesuatu yang datang dari hati, maka hati pulalah yang akan menerimanya. Puisi sederhana sebagai curahan jiwa ini telah tercurah mengiringi pena yang menari menuliskan bait demi bait di dalamnya.

“Menulis puisi bagi saya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat nikmat yang tercurah atas akal pikiran (qalbu) sehingga dapat menuangkan segala apa yang dirasakan, apa yang dilihat, dan apa yang saya alami. Meskipun puisi-puisi yang saya rangkai tidaklah seindah syair para pujangga, namun saya merasa amat bahagia dapat mewujudkan buku kumpulan puisi ini. Alhamdulillah ya Allah rasanya sejuta rasa,” papar Ning.

Buka Ruang Merenung

Sebagai orang yang mengenal dekat Idrus F. Shihah dan pernah menjadi juri ajang Khatulistiwa Award yang terakhir (2021), Prof. Jeffry mengungkapkan dirinya merasa kembali senang ketika terbitnya buku sajak dari Idrus ini. yang menampilkan bukan saja tema-tema lokal, tetapi juga tema-tema universal. Dengan kata lain, untuk buku sajak milik Idrus ini agak berbeda.

Seperti yang ditulisnya dalam endorsement, bahwa jika diperhatikan kata Jeffry, Idrus Shahab sudah menulis sajak tahun 1986, tetapi ada jeda panjang yang membuatnya menyimpan semua peralatan kata-katanya itu di lacinya. Mungkin laut telah menjauhkan jarak pena di tangannya.

Perjalanannya sebagai seorang jurnalis justru telah mengasah rasa batinnya semakin dalam dan menjadikannya sangat mudah menumpahkan ingatan-ingatan pengalamannya dalam helai-helai kertas yang sekarang telah menjadi sebuah kumpulan buku sajak yang ciamik ini.

“Beruntung kini kita dapat mendengar lagi senandung serulingnya dari seorang yang tak pernah lupa di laci sebelah mana disimpan sajak-sajaknyanya itu. Menariknya dari buku sajak ini, kita seakan diberi ruang untuk merenungkan berbagai persoalan keseharian, kesejarahan, termasuk merenungkan persoalan di mana catatan reformasi Indonesia itu sekarang berada” ujar Jeffry.

Sekiranya buku sajak ini diterbitkan pada tahun 2020 dan dikirim dalam penjurian Khatulistiwa Award, bisa jadi Jeffry dan rekan juri yang lain akan mempertimbangkan buku sajak Bung Idrus ini masuk dalam daftar nominasi, bukan karena saya kenal dengan penulisnya, tetapi karena ada keunikan yang membedakan dengan gaya, cara dan konten tematik dari buku sajak yang lain.

Ketua Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional (KKLP) Bahasa Hukum, Badan Bahasa, Eko Marini mencermati dua buku kumpulan puisi karya Idrus F.Shahab dan Ning ini. Menurut Eko, ada rentang cukup lama -20 tahun- dalam kumpulan puisi Idrus, salah satunya yang awal puisi berjudul “Nona Alaska”, 1986.

“Apakah ini ada kaitan dengan masa muda dan jatuh cintanya Pak Idrus dengan seseorang?” tanya Eko seraya menyatakan sangat menarik membaca karya Idrus yang penuh dengan spiritualitas.

Sedangkan buku puisi “Perihal Kita” karya Ning menurut Eko Marini berisi banyak sekali ungkapan kerinduan, termasuk mungkin kerinduan penulisnya. Ternyata memang, sang penyair rindu akan sosok sang suami yang telah lebih dulu meninggalkannya.

“Jadi banyak ungkapakan kerinduan, motivasi, kebangkitan dari keterpurukan banyak hal. Ini sangat baik sekali untuk memotivasi kita. Juga gaya bahasa serta permainan rima yang digunakan, sehingga indah dibaca,” tambah Marini.

Sedangkan Guru Penggerak dari SMAN 56 Jakart Barat, Indri Anatya mengungkapkan hasil elaborasi penggunaan sejumlah puisi dari dua buku ini dalam proses pembelajaran siswa kelas XI. Jadi dua buku puisi yang dibedah ini sudah dipratikkan dalam pembelajaran puisi di SMAN 56 Jakarta, bahkan siswa diberi kebebasan untuk mengubah bentuk puisi menjadi cerpen, poster, drama, drama musikal dan sebagainya, sebab dalam kurikulum merdeka, memang memberi kemerdekaan bagi siswa untuk berkreasi dan mengembangkan bakat.

Indri mengatakan tujuan pembelajaran terkait praktik baik menyimak puisi ini adalah siswa dalam mengidetikkan sendiri unsur-unsur dalam puisi, menjelaskan unsur pembangun puisi, dan menanggapi informasi, pesan, pikiran atau gagasan dalam puisi yang dibahas. (Ery)