Soal Pelabelan BPA Pada Galon Guna Ulang, Edi Homaidi: Presiden Perlu Tegur BPOM Karena Membuat Polemik

by
edi, kmi
Direktur EKsekutif Salemba Institute, Edi Homaidi. (Foto: Istimewa)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Rencana Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan pelabelan BPA pada galon guna ulang terkesan mengada-ada dan diduga syarat kepentingan bisnis. Rencana itu telah menimbulkan kegaduhan di kalangan bisnis dan masyarakat sebagai konsumen.

Melihat perkembangan tersebut, Direktur Salemba Institute Edi Homaidi dihubungi wartawan di Jakarta, Kamis (21/7/2022), mendesak supaya Presiden Joko Widodo (Jokow) turun tangan untuk menghentikan kegaduhan.

“Ada empat instansi yang terlibat untuk urusan ini. Jadi BPOM bukan satu-satunya. Persoalannya, empat instansi tersebut mengusulkan rekomendasi perlunya pengawasan dan penindakan. Bukan seperti kemauan BPOM kasih label di galon. Nah, ada apa kok BPOM ngotot?” kata Edi.

Empat instansi tersebut adalah Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU).

Menurut Edi, sikap mengada-ada BPOM itu juga tampak dari langkahnya mencabut laporan sebelumnya pada Desember 2020 tentang berita dan informasi hoax yang beredar di sosial media sebagai berita hoax atau disinformasi. Belum sampai 2 tahun BPOM berubah sikap dan menyatakan bahwa berita berita tentang bahaya BPA pada galon bukan disinformasi.

“Ini jelas membingungkan dan mencurigakan. Kalau benar berbahaya tindakan BPOM bukan melabeli tetapi menarik produk. Dan ingat bukan hanya galon saja yang ber BPA, banyak produk lain yang mengandung BPA seperti makanan kaleng dan botol susu, itu semua harus dinyatakan sebagai berbahaya,” katanya.

Sebagaimana diketahui sebelumnya Direktur Pengawasan Pangan Risiko Tinggi dan Teknologi Baru BPOM Ema Setyawati pada 31 Desember 2020, kandungan BPA dalam kemasan isi ulang yang beredar itu telah memenuhi syarat ambang batas yang berarti aman digunakan dan tidak berbahaya bagi kesehatan.

Namun, hanya dalam waktu satu setengah tahun, BPOM membuat narasi yang berbeda dengan menyebut bahwa BPA pada plastik berbahaya. Berdasarkan penelitian BPOM sepanjang 2021-2022, BPA pada galon berbahaya karena ditemukan luruh bersama air yang dikonsumsi publik.

“Hebat sekali BPOM. Dalam waktu setahun lebih, penelitiannya langsung berubah 180 derajat,” kata Edi yang juga berpendapat kalau narasi BPOM tersebut merupakan sebuah penghinaan pada akal sehat.

“Memang ada apa fenomena kejadian atau cuaca apa di Indonesia kok tiba tiba galon yang bertahun tahun dinyatakan aman dalam satu tahun kemudian luruh? Apa ada kenaikan suhu selama setahun terakhir? BPOM perlu jelaskan ini. Ilmu itu ada latar belakang dan prosesnya bukan mendadak terjadi. Jadi jangan membodohi rakyat,” tambah dia lagi.

Edi menjelaskan, keterlibatan presiden di sini sangat dibutuhkan. Apalagi, banyak politisi mencurigai adanya dugaan persaingan usaha di balik proyek pelabelan BPA.
Sebut saja, politisi PDI Perjuangan yang pernah menjabat Ketua Komisi IX DPR RI, dokter Ribka Tjiptaning Proletariyati yang mengkhawatirkan adanya persaingan dagang, sehingga dia mengingatkan BPOM untuk tidak tergesa-gesa memberlakukan regulasi baru itu.

Bertolak Belakang

Narasi BPOM itu bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan ahli kimia sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin. Ia memastikan air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang berbahan policarbonat (PC) aman untuk dikonsumsi.

Hal itu sudah dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan Sentra Teknologi Polimer (STP) – BPPT Serpong. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu sampel pun dari AMDK galon guna ulang yang diteliti itu mengandung BPA di atas ketentuan maksimum yang bisa membahayakan kesehatan manusia.

Ia menyebutkan, migrasi BPA dari galon guna ulang ke produk air di dalamnya itu masih seperseratus dari kadar maksimum yang diizinkan. Termasuk sampel galon yang terjemur sinar matahari, meski memang ditemukan adanya kandungan migrasi yang lebih tinggi dari yang ditempatkan di tempat yang tidak terkena matahari, namun kadarnya juga masih jauh di bawah batas maksimum yang diizinkan. (Ery)