Dilema Netanyahu, Ditinggal Koalisi, atau Ditinggal Rakyat

by
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Foto: Ist)

POINT OF NO RETURN“. Tak ada titik untuk  bisa kembali. Bagi Hamas (Harakat al-Muqawama al-Islamiya), juga bagi dua tokoh sayap kanan (garis keras) Israel, Menteri Keuangan Bazalel Smotrich dan Menteri Keamanan Nasional, Ittamar Ben-Gvir. Kedua sisi ini terkunci, dalam ‘gembok’ fundamental. Tanpa ‘lorong waktu’,  untuk berbalik.

Lantas, di mana posisi PM Israel, Benyamin  Netanyahu?  Masih tersediakah ruang kembali baginya? “Point of No Return”,  bagi mantan Dubes Israel untuk AS ini, dengan satu catatan. Smotrich dan Ben-Gvir yang ‘radikal’ akan bersama-sama menarik 14 kursinya dari Knesset (Parlemen).

Bila itu dilakukan, maka 32 kursi partai Likud pimpinan Netanyahu (hasil Pemilu 2022), tak akan mampu bertahan. Memenuhi tuntutan Hamas, yang ‘tak dapat ditawar’, yaitu tarik seluruh Pasukan Israel dari Koridor Philadelphia (perbatasan Mesir-Gaza), dan ‘check point’ Poros Netzarim (Gaza Tengah), adalah mustahil bagi Smotrich dan Ben-Gvir.

Ancaman sayap kanan, dalam koalisi 64 kursi (Knesset) pemerintahan inilah. Yang terus menghambat pembebasan sandera Israel oleh Hamas.  Ittamar Ben-Gvir (Partai Otzma Yehudit dengan 6 kursi), dan Bezalel Smotrich (Partai HaTzionut HaDatit/Zionisme Agama), yang bergabung bersama Partai Noam, Atid Ehad (total 8 kursi). Membuat Israel, tak bisa ‘fleksibel’ dalam negosiasi gencatan senjata.

Jumlah kursi Smotrich dan Ben-Gvir  beserta koalisi sayap kanan (garis keras) menjadi 14. Ke-14 kursi partai Israel ‘garis keras’ inilah yang menopang kekuatan Pemerintahan Benyamin Netanyahu. Partai Likud yang biasanya fleksibel dan lentur  (ingat Manachem Begin), menjadi sangat konservatif.

Perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab saat ini, pernah dimulai oleh Partai Likud (Partai Netanyahu sekarang).  Saat Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Manachem Begin (Likud), menandatangani perjanjian damai di Camp David (AS), 1978. Hasil perjanjian itu, Israel bersedia mengembalikan Gurun Sinai (60.000 Km persegi) kepada Mesir.

Wilayah yang berbatasan dengan Gaza ini, direbut Israel dalam Perang Arab-Israel 1967. Perjanjian itu, menghasilkan pula kesepakatan menjadikan wilayah sepanjang 14 Km, dan lebar 100 meter di perbatasan Rafah (Gaza)-Mesir, sebagai “buffer zone” (penyangga).

Kesepakatan tambahan, Mesir menjangga “buffer zone” di sisi Mesir, dan Israel menjaga “buffer zone’ di sisi Palestina (Rafah). Israel menyebutnya Poros Philadelphia. Keduanya juga sepakat, tidak membolehkan ada angkutan barang di kedua sisi itu. Hanya manusia yang boleh melintas, dengan pemeriksaan yang ketat.

Setelah perjanjian Damai Oslo (Norwegia) 1993, antara Yitzhak Rabin (Israel) dan Yasser Arafat (Palestina). Dua belas tahun kemudian (2005),  semasa PM Ariel Sharon, Israel meninggalkan Gaza, dan menyerahkan pengamanan Poros Philadelphia kepada Faksi pragmatis dan moderat, Al Fatah (pimpinan Yasser Arafat).

Persoalan kemudian muncul, setelah Faksi garis keras Palestina (Hamas), mengusir Pemerintahan Al Fatah di Gaza, lewat Pemilu yang dimenangkan Hamas. Sejak itulah, Hamas menguasai Koridor Philadelphia, ditambah Mesir tidak mengawasi suplai senjata seperti yang disepakatinya dengan Israel.

“Deadlock”, dan ketiadaan solusi inilah yang membuat pembebasan sandera Israel oleh Hamas, menjadi berlarut-larut. Hamas meminta, Pasukan Israel (IDF) meninggalkan ‘Philadelphia’ dan seluruh Gaza (termasuk Poros Netzarim). Sementara Israel ‘bergeming’ (cuek), menaikkan syarat itu.

Berulangkali putaran perundingan, selalu mentok di soal Koridor Philadelphia dan Poros Netzarim. Smotrich & Ittamar Ben-Gvir menyebut, menyerahkan kedua ‘situs’ ini, sama saja membunuh Israel, dan memperkuat persenjataan Hamas.

Buntutnya, dalam perundingan Doha (Qatar) 15 Agustus, dan Kairo (Mesir) 25 Agustus , Hamas menolak hadir. Faksi yang didirikan tahun 1987 oleh Sheikh Ahmad Yassin, kini dalam posisi “the point no return”. Mereka melihat Israel tak serius menyelesaikan pertikaian.

Karena itu, Hamas tak punya pilihan. Melanjutkan perlawanan, seberapa pun ongkos ‘martir’ rakyat sipil Palestina yang harus dibayar ( sampai kini sudah hampir 41.000 jiwa).

Di samping itu, Hamas masih punya ‘senjata’ lain. Menekan Netanyahu di dalam Negerinya, lewat para sandera.

Penemuan enam jenazah sandera di bawah reruntuhan bangunan Kota Rafah kemarin, telah memicu demo besar-besaran hari ini. Sekitar 700.000 pendemo di Tel Aviv (Israel), menuntut PM Benyamin Netanyahu berunding serius dengan Hamas. Untuk mengembalikan sandera yang tersisa.

Lebih jauh lagi, pendemo mengancam akan melakukan mogok Nasional. Bila Pemerintahan Netanyahu tidak membuat langkah maju, untuk memenuhi keinginan publik Israel.

Dari 250 sandera tanggal 7 Oktober 2023. Sekitar 105 telah dibebaskan November tahun lalu, lewat kesepakatan Hamas-Israel. Saat ini, diperkirakan masih ada 109 sandera lagi, dengan catatan hanya tinggal 70-an saja yang masih hidup.

PM Benyamin Netanyahu, kini tengah di simpang jalan.  Menyetujui perundingan damai Hamas-Israel, atau ditinggalkan oleh Ittamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich. Ditinggal koalisi, otomatis Pemerintahan bubar. Artinya Pemilu 2026, akan dipercepat. Netanyahu bimbang. Tekanan internal di suprastruktur, pun juga terus menguat.

Menteri Pertahanan Yoav Gallant, David Barnea (Mossad), Ronen Bar (Shin Bet), yang lebih pragmatis untuk menyelesaikan perang 11 bulan Gaza, ikut bersuara. Bahkan David Barnea mengingatkan, agar Israel meninggalkan Philadelphia.

Saya memperkirakan ‘pressure’ 700.000 pendemo, dan sikap ‘suprastruktur’ (militer dan Intelejen: Mossad & Shin Bet), akan membuat Netanyahu memperbaharui koalisinya dengan Smotrich dan Ben-Gvir.

Artinya, bisa saja Ittamar Ben-Gvir dan Smotrich bersedia melepas Koridor Philadelphia dan Poros Netzarim. Demi kelangsungan koalisinya dengan Netanyahu.

Atau Smotrich dan Ben Gvir tetap bertahan menolak, dan Netanyahu mundur. Pemerintahan bubar. Pemilu? Atau oposisi 56 kursi di Knesset pimpinan Yair Lapid disepakati membentuk Pemerintahan baru? Berbagai kemungkinan bisa terjadi.

Yang pasti, bagi Hamas “Point of No Return”, sudah kepalang tanggung. Begitu juga bagi Smotrich dan Ben-Gvir? Netanyahu, dalam posisi sulit.

*Sabpri Piliang* – (Wartawan Senior/Anggota Dewan Redaksi www.beritabuana.co