BERITABUANA.CO, JAKARTA – Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik melambat menjadi 3,2 persen, turun dari perkiraan sebelumnya yang diproyeksikan 5 persen pada April lalu.
Penurunan proyeksi ekonomi 2022 di kawasan Asia Timur dan Pasifik menjadi 3,2%, sebut World Bank atau Bank Dunia disebabkan perlambatan ekonomi di China.
Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Manuela V Ferro mengungkapkan, pertumbuhan di sebagian besar kawasan yang sedang berkembang di Asia Timur dan Pasifik mengalami pemulihan pada 2022 dari dampak pandemi Covid-19, sementara China telah kehilangan momentum akibat serangkaian tindakan terus-menerus pengendalian virus.
Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik yang sedang berkembang kecuali China diproyeksikan tumbuh menjadi 5,3% pada 2022 dari 2,6% pada 2021.
China, yang sebelumnya memimpin proses pemulihan di kawasan ini, diproyeksikan bertumbuh sebesar 2,8% pada tahun 2022, suatu penurunan tajam dari 8,1% pada tahun 2021.
“Untuk kawasan secara keseluruhan, pertumbuhan diproyeksikan melambat menjadi 3,2% di tahun ini dari 7,2% pada tahun 2021, sebelum kembali mengalami peningkatan menjadi 4,6% pada tahun depan,” jelas Ferro merujuk laporan East Asia and Pacific Economic Update Bank Dunia edisi Oktober 2022, Selasa (27/9/2022).
Perlambatan ekonomi China akan berpengaruh terhadap banyak negara termasuk Indonesia. China merupakan mitra dagang utama Indonesia, sehingga ekspor gemilang selama 28 bulan beruntun akan meredup.
Atas hal itu semua, kata Ferro, saat ini pemulihan ekonomi sedang berlangsung di sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik di saat. Mereka sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi pertumbuhan global yang melambat.
“Berbagai negara harus menangani distorsi kebijakan domestik, yang menjadi penghambat pembangunan jangka panjang,” jelas Ferro
China, yang berkontribusi terhadap sekitar 86% keluaran (output) di kawasan ini, menerapkan kebijakan kesehatan masyarakat yang tertarget untuk mengendalikan penyebaran virus, menghambat kegiatan perekonomian.
Perlambatan ekonomi global mulai menurunkan permintaan ekspor komoditas serta barang-barang manufaktur yang berasal dari kawasan ini.
Tingkat inflasi yang meningkat di luar negeri menyebabkan kenaikan suku bunga, yang kemudian mengakibatkan aliran modal keluar serta depresiasi nilai mata uang di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik.
Perkembangan ini meningkatkan beban utang yang harus dibayar serta menyusutkan ruang fiskal, berakibat negatif pada negara-negara yang memasuki masa pandemi dengan beban utang yang tinggi.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo menjelaskan, pengendalian harga pangan serta subsidi energi menguntungkan bagi kelompok yang kaya dan menjadikan pembelanjaan pemerintah menjauhi sektor infrastruktur, kesehatan dan pendidikan.
“Para pembuat kebijakan menghadapi pilihan yang berat, yaitu antara mengatasi inflasi dan mendukung pemulihan ekonomi,” jelas Mattoo.
“Upaya pengendalian dan subsidi mengaburkan sinyal harga serta melemahkan produktivitas. Kebijakan yang lebih baik di sektor pangan, bahan bakar, dan keuangan akan mendorong pertumbuhan dan memberi jaminan dalam menghadapi inflasi,” kata Mattoo. (Ram)