HNW Mengapresiasi Putusan Muhammadiyah, Menyebut Indonesia Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah

by
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid. (Foto: Humas MPR)

BERITABUANA.CO, SURAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Dr.H.M Hidayat Nur Wahid MA, mengapresiasi prinsip Indonesia sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang diputuskan Muhammadiyah sejak Muktamar ke-47 pada 2015.

“Karena itu perlu dipahami secara mendalam oleh kalangan Umat Islam dan warga negara lainnya dalam melihat relasi negara dan agama,” kata Hidayat dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah dan Aisyiah di Aula KH A Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, Minggu kemarin (31/10/2021).

HNW sapaan akrab Hidayat menyatakan bahwa prinsip Indonesia sebagai negara Pancasila yang darul ahdi wa syahadah, diharapkan menjadi pegangan dalam melanjutkan kiprah mensejarah untuk mengisi kemerdekaan. Juga meluruskan berbagai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

Seperti, Pemberontakan PKI, DI/TII, pemerasan Pancasila menjadi Eka Sila dan Trisila dalam RUU HIP, dan pengkaburan Kamus Sejarah Indonesia yang banyak memasukan tokoh Komunis dan menghilangkan peran tokoh Islam pada fase pembentukan Negara Indonesia Merdeka beberapa waktu lalu.

“Prinsip Darul Ahdi Wa Syahadah ini sejalan dengan prinsip-prinsip yang disepakati oleh Bapak dan Ibu Bangsa untuk menghadirkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara, NKRI sebagai bentuk Negara serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai Semboyan Negara, yaitu 4 pilar MPRRI” ujarnya.

Dengan demikian, lanjut HNW, dapat dijadikan panduan melanjutkan peran kesaksian dan kesepakatan, sekaligus meluruskan penyimpangan dari kiblat bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa. Baik dari nasionalis keagamaan dan nasionalis kebangsaan.

Darul Ahdi atau ‘negara kesepakatan’, berarti bahwa kehadiran Indonesia dan segala dasarnya merupakan hasil dari suatu konsensus atau kesepakatan nasional. Indonesia berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, kekuatan politik yang bersepakat untuk mendirikan Indonesia.

Sedangkan, darul syahadah atau kesaksian, adalah negara tempat kita semua mengisi. Artinya, setelah Indonesia merdeka atas kesepakatan atau konsensus nasional, maka seluruh elemen bangsa harus mengisi bangsa ini menjadi negara maju, makmur, adil bermartabat sesuai dengan Pancasila dan tujuan bernegara dalam UUD NRI 1945.

Para tokoh Muhammadiyah seperti KH Mas Mansoer, KH Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadi Kusumo, Mr Kasman Singodimejo kata HNW bersama tokoh Ormas Islam dan Orpol Islam lainnya telah berjuang meyakinkan para tokoh bangsa lainnya bahwa peran agama sangat penting bagi Indonesia merdeka.

“Itu disampaikan dan terekam diberbagai rapat penting dalam mendirikan Indonesia, seperti dalam Panitia Sembilan, BPUPK, dan PPKI,” ujarnya.

Salah satunya adalah pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia diperoleh atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa sebagaimana tertuang dalam alinea ketiga Pembukaan UUD NRI 1945. Kalimat ini disepakati oleh para tokoh bangsa, baik dari kalangan non muslim, nasionalis kebangsaan dan para tokoh Islam.

“Karena itu, ketika ada yang mencoba melencengkan kesepakatan ini, dengan mengkaitkan agama sebagai radikalisme atau bahkan menyebut agama sebagai musuh terbesar Pancasila, mereka yang Islamophobia itu jelas melenceng dari kiblat Bangsa, karenanya perlu diluruskan. Atau sebaliknya, mereka yang Indonesia phobia, karena mengira Indonesia adalah hadiah kalangan komunis, liberalis maupun sekuler penjajah, dan tidak ada peran penting Ulama dan Umat Islam, mereka kelompok Indonesia phobia ini juga harus dikoreksi, karena sudab melenceng dari kiblat Bangsa,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga mengungkapkan bahwa peran tokoh Muhammadiyah bukan hanya ketika dalam rapat-rapat pembentukan negara Indonesia, tapi diberbagai peristiwa penting bangsa, seperti Kongres Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Kongres Wanita pertama, Amanat Jihad melawan penjajahan Belanda, bahkan juga ketiika proses amandemen UUD NRI 1945.

“Di era reformasi, kiprah itu terus berlanjut, di mana Ketua MPR pertama saat reformasi adalah tokoh Muhammadiyah dari Fraksi Reformasi. Saat itu lah, amandemen konstitusi dilakukan, dan berbagai pasal baru untuk melanjutkan komitmen dan kesaksian wujudkan cita-cita Proklamasi dihadirkan, tetapi Pembukaan UUD NRI dan NKRI sebagai rujukan konstisuional dan historikal tujuan berbangsa dan bernegara yang disepakati Bapak/Ibu Pahlawan Bangsa dinyatakan tidak bisa diubah. Dan itu sejatinya sejalan dengan konsep darul ahdi wa syahadah yang disepakati oleh Muhammadiyah,” jelasnya.

Sudah sewajarnya kata HNW bila Muhammadiyah berada di garda terdepan untuk menjaga dan mensukseskannya. “Dan agar peran mensejarah ini selalu bisa disegarkan, saya mendukung usulan PP Muhammadiyah dan Aisyiyah, agar Negara memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh-tokoh pejuang Muhammadiyah dan Aisyiyah yang belum mendapatkannya. Seperti tokoh Muhammadiyah: Mr M Roem dan HM Rasyidi (Menag I dan Pahlawan Diplomat), serta dari Aisyiyah; Moendjiyah, Hayyinah dan Rr Soekaptinah (yang juga Anggota BPUPK),” pungkasnya. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *