Kiki Syahnakri Bilang, Indonesia Belum Bisa Lakukan Pilpres Langsung, Ini Alasannya

by
Letjen TNI-Purn Kiki Syahnakri Ketua PPAD. (Foto: Jimmy)

BERITABUANA.CO, JAKARTA – Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letjen (Purn) Kiki Syahnakri berpendapat kalau sampai saat ini Indonesia belum bisa melakukan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung. Alasanya, selain rakyat Indonesia yang sekarang ini berjumlah 270 juta orang lebih, juga kebhinnekaan yang sangat luas secara demografis, ditambah ras etnik, agama, bahasa dan lainnya yang sangat luas multidimensi.

“Untuk memimpin rakyat Indonesia dibutuhkan seorang pemimpin yang berkarakter unggul, berkarakter mulia, Pancasilis, berkompetensi tinggi dia harus teladan. Tidak omong kosong, tidak omong doang,” kata Kiki Syahnakri dalam Focus Group Discussion/FGD bertema “MPR sebagai Lembaga Perwakilan Inklusif” di Media Center Gedung Nusantara III, Komplek Partmen Senayan, Jakarta, Senin (18/10/2021).

FGD diselenggarakan MPR yang diawali penyampaian kaynote spech oleh Ketua MPR Bambang Soesyatyo. Pembicara lainnya Diani Sadiawati (Staf Ahli Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Hubungan Kelembagaan) dan Moch.Nurhasim (Asosiasi Ilmu Poliik Indonesia).

Melanjutkan pernyataanya, mantan Wakasad itu menegaskan bahwa presiden harus dipilih dengan prinsip-prinsip meritocracy. Karena itu pula proses pemilihan presiden tidak diserahkan kepada mekanisme pasar alat demokrasi liberal, tetapi harus diserahkan kepada orang yang mengerti tentang meritocracy dan mengerti tentang syarat-syarat seorang presiden.

Dia mengilustrasi pemelihan Presiden China misalnya. Negara Tirai Bambu tersebut menjaring calon pemimpinnyadari usia dini. Xi Jinping dicalonkan sejak usia 12 tahun, dididik dan seterusnya dan terpilih dari sekian kader dan sekarang dia menjadi pemimpin yang kuat tangguh.

“Di Amerika pun begitu. Hanya ada dua partai politik, tapi fungsi partai politik untuk melakukan kaderisasi dijalankan dengan baik,” terangnya.

Kiki mencontohkan Kenedy yang berpangkat letnan satu keluar dari militer dan terjun ke politik. Kenedy dikaderkan tidak ujug-ujug, tidak mayor mau jadi presiden, tetapi di kantorkan dulu sampai menjadi Senator.

“Jadi saya kira kaderisasi ini sangat bagus, kecuali Donald Trump saya kira kecelakaan. Saya kira itu filosofinya, mengapa presiden dipilih MPR. Saya menterjemahkan saja apa yang dipikirkan oleh founding father dahulu,” katanya.

Dengan alasan itulah, Kiki menginginkan pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR dengan menetapkan kembali MPR sebagai tertinggi negara yang ketika dilakukan amendemen UUD 1945 sudah menjadi lembaga tinggi negara.

“MPR harus di isi dengan keterwakilannya lengkap, yaitu DPR, utusan daerah yang mewakili daerah-daerah etnik di seluruh Indonesia dan golongan yang mewakili kelompok-kelompok seperti profesi dan asosiasi, mulai dari ikatan dokter, pedagang, atau termasuk TNI,” ujarnya.

Selain itu, semua Anggota MPR yang berasal dari DPR dipilih lewat pemilu yang demokratis, fair dan terbuka. Sementara semua anggota yang berasal dari Utusan Golongan dan Utusan Daerah, ditunjuk berdasarkan meritocracy oleh kelompok institusinya masing-masing.

Kemudian, semua anggota MPR berorientasi pada kepentingan nasional, bukan pada kepentingan pribadi atau golongan, serta yang terakhir semua anggota MPR harus amanah dengan tugasnya. Dengan kata lain, diharapkan anggota-anggota MPR berkualitas tinggi.

“Dari sisi komposisi keanggotaan yang ada saat ini MPR apakah memadai sebagai perwakilan serta pelembagaan permusyawaratan yang inklusif bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawab saya tidak cukup memadai karena dari keanggotaannya tidak lengkap. Tidak mencerminkan representasi dari seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke,” kata Kiki.

Menurut Kiki, golongan dan daerah tidak terwakili di dalam susunan MPR sekarang ini. Alasannya, semua anggota DPR adalah politisi. Begitu juga dengan DPD RI, hampir semuanya anggota juga politisi.

“Makanya, sebagai seorang politisi tentu akan berorientasi pada kepentingan politik masing-masing atau kelompoknya, bukan kepada kepentingan bangsa negara seperti yang disyaratkan bagi seorang anggota MPR.Dengan kondisi seperti itu maka tidak mungkin MPR dapat menjadi lembaga permusyawaratan yang inklusif,” kata Kiki Syahnakri.

Sedang Diani Sandiawati melihat bahwa dalam konteks Undang-Undang (UU), sistem perencanaan pembangunan nasional pun menjadi kata inklusif, sudah menjadi satu kesatuan. Baik yang sifatnya teknokratik antara pemerintah pusat dan daerah, lalu dengan perguruan tinggi, dengan civil society dan dengan media dan itu juga kita lakukan dan ini untuk menyeimbangkan antara topdown dan baten up.

“Jika kaitannya dengan MPR yang inklusif, jadi ada kaitannya dengan PPHN ternyata dari perspektif pemerintah tentu kami yang tugasnya sehari-hari menyusun perencanaan pembangunan waktu GBHN ini dihapuskan, memang cukup bergoyang,” kataya.

Menurut Diani, jika tidak ada PPHN, bagaimana nanti melihat dari arah pembangunan jangka panjang. Karena Cina punya, Malaysia punya, Singapura punya dan semua negara punya arah ke depan.

“Nah sisi kita ke depan seperti apa? Sehingga pada waktu itu dalam menyusun itu berganti-ganti. Saya ingat sekali bagaimana dari Repelita lalu sedikit ada proses yang namanya Sarlita walau umurnya hanya setahun. Lalu ada Propenas (program pembangunan nasional) akhirnya jadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN,” ungkapnya.

Karenanya, dia setuju apa yang disampaikan ketua MPR bahwa dari pengalamannya di pemerintah, tentunya sangat mengharapkan ada arah jangka panjang, yang memang harus diikuti menjadi gaiden (acuan) bagi pemimpin nasional, tentunya dan memang pada akhirnya keluarlah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007.

“Kita berasumsi itu seperti gaya GBHN, arahnya seperti apa sampai 2024. Sekarang kami pun sedang melakukan evaluasi, tetapi dalam pembahasan di DPR ketua MPR mengalami bagaimana itu terjadi pembagian per 5 tahun. Ini pun sebenarnya, menjadi sangat penting dengan adanya apapun namanya kalau sekarang dengan PPHN, tentu kami sangat menyambut sehingga kami akan lebih mudah untuk melihat atau menjadi gaiden bagi pemimpin nasional siapapun untuk jangka panjang,” demikian Diani Sandiawati. (Jimmy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *